MP, PEKANBARU -Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau besok berencana mendeklarasikan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Siak-Sungai Kampar di kampus Universitas Riau (Unri).
Namun salah satu penggiat lingkungan yakni Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menolak untuk hadir di acara itu. Karena dianggap deklarasi tersebut menguntungkan pihak perusahaan atau korporasi.
”Kehadiran perusahaan HTI dalam deklarasi ini jelas menguntungkan perusahaan karena seolah-olah, korporasi ini berperan dalam memperbaiki gambut. Padahal, justru mereka lah yang merusak dengan cara membakar, membuat kanal dan menebang hutan alam,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari, Senin (07/08/2023).
Apalagi, imbuhnya, Jikalahari di bentang KHG Sungai Kampar-Sungai Siak sepanjang 2019 – 2023, perusahaan terafiliasi APP (PT Arara Abadi, PT Balai kayang Mandiri) dan APRIL (PT RAPP Sektor Dayun dan PT Selaras Abadi Utama) menemukan kebakaran terjadi di dalam konsesi perusahaan, membuka kanal baru, menebang hutan alam, berkonflik dengan masyarakat adat dan tempatan.
Rentang waktu 2015-2017, perusahaan perusahaan tersebut juga menanam dan menanam pohon akasia di areal eks Karhutla itu.
“Tentu saja dalam pertemuan dan deklarasi tersebut, perusahaan menutupi perusakan gambut, menghancurkan hutan alam dan perampasan hutan tanah Masyarakat Adat. Dan perusahaan diberi ruang oleh pemerintah untuk greenwashing,” tegasnya.
Lagi pula, ujar Made Ali, menjaga gambut dari karhutla dan kerusakan adalah kewajiban perusahaan. Oleh karenanya peran pemerintah terhadap perusahaan mengawasi, mengevaluasi dan melakukan penegakkan hukum bila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh perusahaan.
“Bukan malah memberi ruang dan menutupi kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan,” tandasnya.
Made Ali juga mempertanyakan, mengapa hanya deklarasi KHG Sungai Siak dan Sungai Kampar. Ada 59 KHG tersebar di Provinsi Riau. 5 KHG terbesar yaitu KHG Sungai Rokan–Sungai Siak Kecil 832.221,75 hektare (ha), KHG Sungai Siak–Sungai Kampar 722.705,50 ha, KHG Sungai Kampar–Sungai Gaung 709.845,99 ha, KHG Sungai Gaung–Sungai Batang Tuaka 315.328,37 ha dan KHG Sungai Rokan Kiri–Sungai Mandau seluas 222.561,75 ha.
Idealnya, kata Made Ali, kesempatan ini seharusnya dimanfaatkan BRGM dan Pemprov Riau untuk membahas seluruh persoalan yang terjadi di 59 KHG di Riau, bukan hanya satu KHG yang kondisinya masih lebih baik dari KHG lainnya.
Namun anehnya, mengapa hanya KHG Sungai Siak–Sungai Kampar yang dideklarasikan? Apakah hanya karena KHG ini memiliki representasi penanggung jawab yang lengkap?”
Padahal, hasil analisis Jikalahari, selain KHG Sungai Siak-Sungai Kampar ada KHG yang kondisinya lebih parah dan perlu tindakan segera dari pemerintah seperti KHG Sungai Rokan–Sungai Siak Kecil, KHG Sungai Kampar–Sungai Gaung dan KHG Sungai Gaung–Sungai Batang Tuaka.
Harusnya BRGM meminta komitmen dari seluruh penanggung jawab usaha di dalam KHG, bukan hanya KHG Sungai Siak dan Kampar. Sebab, Riau sedang menghadapi tingginya ancaman karhutla terutama di kawasan gambut.
“Jikalahari mendesak BRGM menghentikan deklarasi yang hanya menutupi kelemahan dan kinerja yang tak jelas dilakukan BRGM dan Pemprov Riau dalam memulihkan ekosistem gambut yang dirusak oleh korporasi,” tutupnya. * (Ryan Ferdinan)