MP, MEDAN – Dua kali kalah lawan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan anakbuahnya, dan kini ditendang petugas partainya, Joko Widodo (Jokowi) merupakan karma untuk Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum (Ketum) PDI Perjuangan (PDIP) yang juga mantan Presiden Republik Indonesia (RI).
Karma itu, karena putri sulung Bung Karno ini adalah tokoh yang mengubur gerakan reformasi. “Boleh dikatakan bahwa yang mengubur Gerakan Reformasi adalah Ibu Megawati karena nafsu mau cepat cepat jadi Presiden. Nah, apa hasilnya? Sekarang ditendang oleh Petugas Partainya sendiri.
Hukum Karma? Penilaian terserah kepada kita masing masing,” kata Barata Sembiring Brahmana, Tokoh Marheanisme Indonesia dalam diskusi film “Dirty Vote” di kampus Universitas Sumatera Utara (USU), Medan baru baru ini.
Padahal, kata Barata lagi, kita perlu melihat kilas balik Gerakan Reformasi 1998 melawan Orde Baru.
Gerakan Reformasi yang lahir dari darah, airmata dan keringat mahasiswa.
Gerakan Reformasi itu tidak pernah sampai puncak alamiahnya. Tidak sampai conclusion/tidak konklusif. “Gerakan Reformasi mati suri di tengah jalan,” tegasnya.
Ditambahkan Barata yang juga Tokoh Masyarakat Karo ini, mati suri reformasi itu berawal dari hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 yang mengantarkan Gus Dur ke kursi Presiden dan Megawati Soekarnoputri ke Kursi Wakil Presiden.
Dari saat menjabat Presiden Gus Dur berusaha mencabut tiang tiang Orde Baru yang sudah lama bercokol di semua sendi sendi Negeri ini- apa yang dinamakan Deep State. Tetapi hal ini tidak bisa dilakukan sesegera mungkin ibarat membalik telapak tangan.
Namun baru berjalan sekitar 19 bulan beliau (Gus Dur) digulingkan oleh Megawati dengan bantuan Amin Rais, Akbar Tanjung, Hamzah Has dll.(Poros Tengah-nya Amin Rais).
Mereka ini adalah oknum oknum yang baru 20 bulan sebelumnya telah menolak Megawati jadi Presiden dengan dalih Agama, bahwa seorang wanita tidak boleh jadi Presiden.
Setelah menjadi Presiden, Ibu Megawati harus membagi kekuasaan dengan tenaga tenaga Orde Baru. Apalagi, di Agustus 2002 dilakukan Amendemen ke-IV pada Pasal 33 UUD 1945, yang membuka peluang Pemodal Besar menguasai sebagian besar Ekonomi Negeri kita ini.
Maka sampailah kita pada hari ini.
Kondisi Negeri ini, kata Barata Brahmana, diperburuk merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). “Bila kita bicara tentang KKN, tentang perilaku penguasa dan para penyelenggara Negara, kita hanya bicara tentang gejala penyakit, bukan penyakit itu sendiri,” tegasnya.
Barata menilai pemberantasan KKN hanya Lip Service dan berlanjut terus dari jaman Presiden
Ibu Megawati, Presiden SBY dan hingga jaman Presiden Jokowi ini
Pertanyaannya;
Presiden Jokowi saat kampanye di 2014 menjanjikan Revolusi Mental. Namun hampir 10 tahun kemudian di mana itu Revolusi Mental? * (DW Baswir)