MP, PEKANBARU – Aksi penolakan Program Strategis Nasional Kawasan Rempang Eco-City, Batam, Rabu (07/09/2023) berakhir ricuh. Aparat keamanan terjebak bentrokan yang mengakibatkan puluhan orang luka, beberapa anak mengalami trauma, dan satu anak mengalami luka akibat gas air mata serta paling tidak 6 orang warga ditangkap.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Zenzi Suhadi dalam siaran pers yang diterima media ini, menyebutkan lagi dan lagi masyarakat adat menjadi korban ambisi pembangunan nasional.
Aparat keamanan TNI Angkatan Laut dan Kepolisian menjadi alat negara untuk melancarkan ambisi pembangunan Kawasan Rempang Eco-City yang harus menggusur 16 Kampung Melayu Tua yang telah eksis sejak 1834.
Hari ini sekitar pukul 10:00 WIB, aparat keamanan memicu bentrokan dengan memaksa masuk untuk melakukan pemasangan Patok Tata Batas dan Cipta Kondisi. Karena sedari awal tujuan kegiatan tersebut untuk merelokasi atau menggusur warga dari tanah adatnya, maka seharusnya aparat dan BP Batam tahu kegiatan ini pasti mendapat penolakan.
Kegiatan ini merupakan pemantik bentrokan. Peristiwa berdarah ini bagi Koalisi Masyarakat Sipil ini merupakan tanggung jawab pimpinan BP Batam, Kapolda Kepulauan Riau, Kapolresta Barelang, Komandan Panglima TNI AL Batam.
Peristiwa ini pun bertentangan dengan amanat UUD Tahun NRI 1945, di mana tegas disebut negara wajib melindungi seluruh tumpah darah dan segenap warga negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
”Tindakan aparat Kepolisian, BP Batam dan TNI yang memaksa masuk ke wilayah masyarakat adat Pulau Rempang, adalah pengabaian terhadap amanah konstitusi dan pelanggaran HAM secara nyata. Oleh karena itu Presiden harus memerintahkan kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk segera mencopot Kapolda Kepulauan Riau, Kapolres Barelang dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam karena telah melanggar konstitusi dan HAM,” tegas Azlaini Agus, salah satu Tokoh Riau yang ambil bagian mendukung perjuangan masyarakat tersebut.
Apa yang dilakukan warga Rempang merupakan upaya mempertahankan hak dasarnya untuk hidup, hak untuk mempertahankan kampung halaman nenek moyang mereka. Sehingga apa yang yang dilakukan tim gabungan keamanan ini bukan untuk Indonesia, bukan untuk melindungi, dan mengayomi masyarakat adat. Tindakan tersebut hanya sekadar membela investasi yang akan menggusur masyarakat adat.
Atas peristiwa ini, Solidaritas Koalisi Masyarakat Sipil menuntut Presiden Joko Widodo untuk:
1. Menghentikan dan membatalkan rencana pembangunan Kawasan Rempang Eco-City, tidak sekedar mengeluarkannya sebagai program strategis nasional;
2. Memastikan perlindungan dan pengakuan terhadap seluruh hak dasar masyarakat adat dan tempatan di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang;
3. Memerintakan kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk mencopot Kapolda Kepulauan Riau, Kapolres Barelang dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam; dan
4. Memerintahkan audit menyeluruh kepada BP Batam terkait kepatuhan keuangan dan implemetasi prinsip HAM dalam seluruh proses dan perencanaan pembangunan.
Seperti diketahui pembangunan Kawasan Rempang Eco-City merupakan salah satu program strategis nasional yang dimuat dalam Permenko Ekuin Nomor 7 Tahun 2023.
Program strategis nasional ini dari awal perencanannya tidak partisipatif sekaligus abai pada suara masyarakat adat 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang yang sudah eksis sejak 1834.
Jadi wajar masyarakat di lokasi tersebut menolak rencana pembangunan ini. BP Batam, Menko Ekuin, Kepala BKPM, dan K/L yang terlibat dalam proses ini merumuskan program tanpa persetujuan masyarakat.
”Atas dasar tersebut, kami Masyarakat Sipil di Riau, Masyarakat Sipil Nasional, dan 28 Kantor Eksekutif Daerah WALHI meminta Presiden mengambil sikap tegas untuk membatalkan program ini. Program yang mengakibatkan bentrokan dan berpotensi menghilangkan hak atas tanah, dan identitas adat masyarakat di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang,” pungkas Zenzi lagi. * (rls/DW Baswir)